KOALISI ORGANISASI KESEHATAN PENDUKUNG RUU KESAHATAN, GEDUNG DHN 45

KOALISI ORGANISASI KESEHATAN PENDUKUNG RUU KESAHATAN, GEDUNG DHN 45

PKRI News, DKI. Jakarta. PENJELASAN KOALISI ORGANISASI KESEHATAN PENDUKUNG RUU KESAHATAN. Oleh : Dr.Judilherry Justam Koordinator Koalisi Organisasi Tenaga Kesehatan

Transformasi Kesehatan melalui RUU Kesehatan OBL diperlukan antara lain untuk mengkoreksi sejumlah ketentuan dalam UU Praktik Kedokteran 2004 yang mengurangi peran pemerintah dan negara dalam sektor kesehatan.

Dalam UU tersebut, Dinas Kesehatan – bahkan Menteri Kesehatan sekalipun tidak dapat mengeluarkan izin praktek tanpa adanya rekomendasi izin praktek dari IDI Cabang.

Begitupun Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tidak dapat mengeluarkan Surat Tanda Registrasi (STR) tanpa terlebih dahulu memiliki Sertifikat Kompetensi (Serkom) yang dikeluarkan oleh kolegium bentukan IDI.

Kewenangan IDI dan PDGI berdasarkan UU Praktik Kedokteran ini diikuti dan ditiru pula oleh organisasi nakes lain seperti IAI (Ikatan Apoteker Indonesia), PPNI (Perkumpulan Perawat Nasional

Indonesia) dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI).

Demikian juga, ketentuan organisasi profesi sebagai organisasi tunggal, menyebabkan setiap dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya terpaksa harus menjadi anggota organisasi profesi masing-masing.

Sebagai contoh, IAI dalam AD/ART-nya menyebutkan bahwa IAI adalah satu-satunya organisasi profesi untuk Apoteker.

Tidak ada dasar hukumnya yang bisa membenarkan klaim IAI sebagai organisasi tunggal untuk apoteker.

Sebetulnya anggota-anggota IAI dapat

mengajukan gugatan PMH (Perbuatan Melawan Hukum) pada PP IAI. Karena berdasarkan klaim sebagai satu-satunya organisasi profesi apoteker, IAI bisa memungut dana rekomendasi

izin praktek dan sertifikat kompetensi apoteker.

Tidak ada contoh di negara lain dimana organisasi profesi sebagai organisasi tunggal, kolegium dibentuk oleh organisasi profesi dan rekomendasi organisasi untuk dapat

memperoleh izin praktek.

Dengan mencabut UU Praktik Kedokteran berarti kita ingin

mengembalikan IDI dan PDGI ke khittahnya.

Dengan demikian bisa dimengerti mengapa organisasi profesi IDI dan PDGI matimatian ingin mempertahankan UU Praktik Kedokteran 2004 agar tidak dicabut.

Oleh karena dengan dicabutnya UU Praktek Kedokteran 2004, pengurus IDI akan kehilangan pijakan untuk

dapat memungut dana rekomenndasi izin praktek, sertifikat kompetensi dan biaya pemenuhan SKP (Satuan Kredit Partisipasi).

Padahal anggota-anggota IDI sendiri sangat berterima-kasih bila STR diberlakukan seumur hidup dan penyederhanaan persyaratan izin praktek tanpa keharusan perlunya rekomendasi IDI.

Disamping itu sangat meringankan biaya yang harus dikeluarkan oleh masing-masing anggota IDI dan PDGI.

Tetapi dalam narasi penolakan RUU Kesehatan yang sering disebutkan adalah bahaya masuknya dokter asing, investasi asing, perlindungan hukum bagi dokter dan liberalisasi.

Mengenai yang terakhir tentang liberalisasi, justru tidak masuk akal. Dengan mencabut UU

Praktek Kedokteran, justru memangkas liberalisasi dengan memangkas kewenangan organisasi

profesi dan mengambalikannya pada pemerintah dan KKI.

RUU Kesehatan Pasal 233, menyebutkan bahwa Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan WNA lulusan luar negeri yang melaksanakan praktik di Indonesia harus mengikuti evaluasi kompetensi.

Jika hasil uji kompetensi mereka adalah kompeten, maka mereka harus mengikuti adaptasi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan serta wajib memiliki STR dan SIP selama adaptasi.

Jika hasil uji kompetensi mereka adalah belum kompeten, maka mereka harus kembali ke negara asalnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Mengenai investasi asing yang berkualitas internasional diharapkan dapat mengurangi

arus orang kaya Indonesia berobat keluar negeri.

Saat ini saja ditengarai sekitar 2 juta orang Indonesia berobat keluar negeri setiap tahun yang menghabiskan devisa sekitar Rp 1,6 Triliun. Wekiranya bisa dihemat 10% saja, cukup besar manfaatnya.

Sedangkan mengenai perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan. Perlindungan hukum

bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan bukan merupakan hal yang baru karena dalam UU

36/2014 Tenaga Kesehatan dalam Pasal 57 huruf (a) dinyatakan bahwa Tenaga Kesehatan

dalam menjalankan praktik berhak memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan

tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional.

Hal ini tidak dihilangkan bahkan ditegaskan kembali di dalam RUU Kesehatan.

Laporan : Barto Silitonga/ dilansir dari rilis Koalisi Organisasi Tenaga Kesehatan/Ist

Totop Troitua ST

Pendiri MB PKRI CADSENA dan Owner PT MEDIA PKRI CYBER