Ada Mafia Tanah Dalam Penetapan Perda RTRW di Provinsi Riau : Warga Tidak Dapat Ganti Rugi, Pembangunan TOL.

Ada Mafia Tanah Dalam Penetapan Perda RTRW di Provinsi Riau : Warga Tidak Dapat Ganti Rugi, Pembangunan TOL.

PKRI NEWS, RIAU. Pekanbaru – Ada Mafia Tanah Dalam Penetapan Perda RTRW di Provinsi Riau, hal ini  Sebabkan Warga Tidak Dapat Ganti Rugi, Pembangunan TOL.

Banyaknya kepentingan dalam penetapan tata ruang dan wilayah (RTRW) di Provinsi Riau, berdampak terhadap lahan masyarakat yang dimainkan oleh mafia tanah.
Efek dari permainan mafia tanah menyebabkan lahan masyarakat tidak dapat diganti rugi dalam proses pembebasan lahan untuk pembangunan Jalan Tol Pekanbaru- Padang.

Hal ini diungkapkan oleh legislator asal Riau dari Fraksi PKS H. Syahrul Aidi, saat melakukan Rapat Dengan Pendapat (RDP) di Gedung DPR RI bersama dengan Kementrian PUPR Selasa (26/05/2021) di Jakarta. Pada kesempatan itu, Syahlul Aidi menyampaikan bahwa banyak masyarakat di Desa Kualu Nenas Kecamatan Tambang Kabupaten Kampar dirugikan yang lahannya terkena jalur tol Pekanbaru-Padang.

Kerugian tersebut terjadi, karena warga yang memiliki lahan tidak bisa mendapatkan ganti rugi, dari pemerintah untuk jalur tol. Penyebabnya adalah karena status lahan mereka berubah masuk dalam kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK).

Perubahan ini terjadi, saat penetapan Peraturan Daerah tentang tata ruang dan wilayah tahun 2018 di Provinsi Riau. Bila menurut pengakuan masyarakat, lahan mereka sebelumnya hanya masuk sebagai kawasan Hak Penggunaan Lain (HPL), kemudian di tahun 2018 berubah menjadi kawasan HPK.

Modus perubahan kawasan ini dengan cara diinklap, atau dikeluarkan status lahan yang dimiliki oleh perusahaan yang berstatus HPK. Perusahaan tersebut diduga mencamplok lahan masyarakat yang berjumlah 50 Hektar, dan digunakan sebagai lahan tukar guling HPK.

Secara objek kepemilikan, lahan tersebut memang tidak berpindah tangan dari masyarakat ke perusahaan. Namun secara aturan, lahan masyarakat masuk menjadi lahan objek konversi dari lahan perusahaan yang berstatus HPK.

Dalam mekanismenya lanjut Syahrul Aidi, lahan yang masuk dalam kawasan HPK tidak dapat ganti rugi dari pemerintah bila terkena dampak pembangunan. Hal inilah menurut Syahrul Aidi, agar pemerintah melalui kementrian PUPR dapat melihat permasalahan bukan saja dari aspek hukum, namun juga aspek sosial.

Karena yang menjadi pendekatan pemerintah jangan saja pendekatan hukum. Sebab pertimbangannya masyarakat setempat sudah memiliki dan menggarap lahan tersebut sejak tahun 1965, bahkan status kepemilikannya ada yang sertifikat dan SKGR, namun mereka tidak tahu perubahan status kawasan lahan mereka.

(Kham).

Totop Troitua ST

Pendiri MB PKRI CADSENA dan Owner PT MEDIA PKRI CYBER